Abstinence In Banjar Community In The Perspective Of Maqasid Shariah
Harta Perpantangan Pada Masyarakat Banjar Dalam Perspektif Maqasid Shariah
Abstract
The marriage tradition that takes place in the Banjar community is actually not only marrying a man and a woman but also marrying two families with all their activities so that in married life it seems that every activity is carried out jointly between husband and wife; what is the husband's job is also the wife's work and vice versa is no exception in earning a family income, and the results are not distinguished between the husband's income and the wife's income which is called abstinence property. Islamic law does not recognize the term abstinence property as jointly acquired property between husband and wife in marriage so that this concept has never been discussed in fiqh books. On that basis the focus in this paper seeks to explain what abstinence property is, who invented it. And how is the concept of abstinence property in the perspective of Maqasid Shariah. This type of research is a descriptive qualitative literature research with historical, sociological, anthropological, and legal approaches. The findings of this study are the birth of Sheikh Muhammad al-Banjari's thoughts on taboo assets based on the traditions and social conditions of the people at that time, the majority of whom worked as farmers, fishermen and traders. The property of abstinence as a doctrine produced by a mujtahid and can be accepted by the community as a law that provides an answer to the sense of justice in the community's law. The concept of abstinence property is very much in line with Maqasid Shariah, namely realizing the benefit of husband and wife's life in managing wealth with husband and wife in household. This concept is also in accordance with the theory of syirkah in jurisprudence, namely syirkah abdan, which is a form of cooperation between husband and wife in work and the results become joint property. Later this concept was processed into a law, as contained in Law no. 1 of 1974 which is stated in articles 35, 36 and 37 as well as in the Compilation of Islamic Law in Indonesia starting from articles 85 to 97.
Abstrak
Tradisi perkawinan yang berlangsung pada masyarakat Banjar sesungguhnya tidak hanya mengawinkan antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi juga mengawinkan dua keluarga dengan segala aktivitasnya sehingga dalam kehidupan berumah tangga nampak terlihat setiap kegiatan dikerjakan secara bersama-sama antara suami dan isteri; apa yang menjadi pekerjaan suami juga menjadi pekerjaan isteri dan sebaliknya tidak terkecuali dalam mencari nafkah keluarga. Dan hasilnya pun tidak dibedakan antara penghasilan suami dan penghasilan isteri yang disebut dengan harta perpantangan. Hukum Islam tidak mengenal istilah harta perpantangan sebagai harta hasil perolehan bersama antara suami dan isteri dalam berumah tangga sehingga konsep ini tidak pernah ditemukan pembahasannya di dalam kitab-kitab fikih. Atas dasar itulah maka fokus dalam tulisan ini berusaha untuk menjelaskan apa itu harta perpantangan, siapa penemunya dan bagaimana konsep harta perpantangan tersebut dalam perspektif Maqasid Shariah. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif kepustakaan dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis, dan hukum. Temuan dari penelitian ini adalah lahirnya pemikiran Syeikh Muhammad al-Banjari tentang harta perpantangan yang didasari atas tradisi dan kondisi sosial masyarakat saat itu yang mayoritas berprofesi sebagai petani, nelayan dan pedagang. Harta perpantangan sebagai sebuah doktren yang dihasilkan oleh seorang mujtahid dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai sebuah hukum yang memberikan jawaban atas rasa keadilan hukum masyarakat. Konsep harta perpantangan ini sangat bersesuaian dengan Maqasid Shariah yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan suami isteri dalam mengelola kekayaan bersama suami isteri dalam rumah tangga. Konsep ini juga sesuai dengan teori syirkah dalam ilmu fikih yaitu syirkah abdan yaitu bentuk kerjasama antara suami dan isteri dalam bekerja dan hasilnya menjadi milik bersama. Belakangan konsep ini berproses menjadi sebuah undang-undang, sebagaimana termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang tercantum dalam pasal 35, 36 dan 37 demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mulai pasal 85 sampai dengan pasal 97.
References
A. Halil Thahir. 2015. Ijtihad Maqasidi Rekkonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta, LKIS Pelangi Aksara.
Abdurrahman. 1989. Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835. Banjarmasin, STIH Sultan Adam.
Abdul Wahab Khallaf. 1968. Ilmu Ushul al Fiqh. Kairo: Maktabah al Dakwah al Islamiyah, Syabab al Azhar.
Abu Daudi. 2003. Maulana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Martapura: Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar
Ahmad Rofiq. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ahmadi Hasan. 2007. Adat Badamai. Banjarmasin: Antasari Press.
Abu Daudi. 2003. Maulana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Martapura: Yayasan Pendidikan Islam Dalam Pagar.
Alfani Daud. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Asjmuni Abdurrahman. 1976. Qaidah-qaidah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Ansori Ahmad. 1986. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. 2015. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Badilag MARI.
Hasbi Ash-Shiddiqie. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Idwar Saleh. 1975. Sejarah Singkat Mengenai Bangkit dan Berkembangnya Kota Banjarmasin serta Wilayah Sekitarnya Sampai Tahun 1950. Banjarmasin.
Ismuha, H. 1978. Pencaharian Harta Bersama Suami Isteri. Jakarta: Bulan Bintang.
Iman Sudiyat. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
Irsyad Zen. 1998. Sejarah dan Zuriat Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari. Martapura: Yayasan Sultan Adam.
Jalaluddin al Sayuti. 2007. Al Asybah wan Nazha’ir. Mesir: Al Nahdlah al Hadisah.
Kementerian Agama RI. Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Mahrus As’ad. 2010. Ayo Mengenal Sejarah Islam 3. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mahsun Fuad. 2005. Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris, PT. LKiS Pelangi Aksara.
Mallinckrodict. 1928. Het Adatrecht van Borneo I-II. Leiden: M. Dubbeldeman.
Martiman Prodjohamidjojo, MR. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Legal Centre Publishing.
Muhammad Abu Zahrah. 1958. Ushul al Fiqh. Dar al Fikr al Arabi.
Murodi MA. 2008. Pendidikan Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam. Madrasah Tsanawiyah Kalas IX: Toha Putra.
M. Fahmi Al Amruzi, H. 2013. Harta Kekayaan Perkawinan Studi Komparatif Fiqh, KHI, Hukum Adat Dan KUH Perdata. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Rahmat Djatnika. 1996. Jalan Mencari Hukum yang Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad Dalam Amrullah Ahmad, 1996, Dimensi Hukum Islam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.
Ramchmat Syafe’i. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
R. Subekti & R. Tjitrosubidio. 2005. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Simanjuntak, P.N.H. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Syahril Jamil. 2017. Konstruksi Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Jurnal Usrah
Van Vallenhoven. 1983. Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Jambatan.